Rabu, 14 Februari 2018

LURAH MASKUB DIHUKUM MATI; Cara Jepang menakuti Pribumi



Dipetik dari Serpihan Catatan Ayuhanafiq


     Kekalahan Hindia Belanda atas serangan Jepang menyebabkan kekosongan keluasaan. Orang Belanda yang menduduki jabatan pemerintahan sipil dan militer lari dari tugasnya. Situsi itu dimanfaatkan oleh penduduk untuk membalas perilaku para pejabat lama yang sempat menindas kala Belanda berkuasa.
Kekejaman Jepang - Intisari Online
     Awal Mei 1942, Lurah Maskub, kepala Desa Sawo Onder Diatrik Jetis Mojokerto mengumpulkan para perangkat bawahannya. Dalam pertemuan itu dibahas rencana menghabisi seorang pegawai onderan/kecamatan Jetis yang bertugas menarik pajak. Pejabat itu dianggap menindas karena perilaku kasarnya saat menjalankan tugas. Penarikan pajak di Desa Sawo memang agak seret karena masyarkatnya miskin. Petugas itu pernah mengancam Lurah Maskub yang melindungi warganya.
     Pada suatu hari, petugas pajak itu diminta datang ke desa Sawo untuk menerima setoran pajak. Tetapi bukan uang pajak yang didapatkan, justru nyawanya hilang di tangan Lurah Maskub dan perangkatnya. Peristiwa pembunuhan itu sampai ke telinga tentara Jepang yang baru saja masuk ke Mojokerto.
     Dengan alasan menegakkan hukum, Jepang kemudian mencari Lurah Maskub. Perangkat desa Sawo yang terlibat kemudian ditangkap. Sedangkan Lurah Maskub berhasil melarikan diri dan bersembunyi. Dia tidak mengira bila tindakannya diusut oleh penguasa baru. Semula Maskub memgira bila pembunuhan antek Belanda akan dibiarkan tentara Jepang.
     Pencarian terhadap Maskub tidak membuahkan hasil. Jepang tidak kekurangan akal. Salah satu saudara Lurah Maskub yang bekerja di PG Gempolkrep dipanggil. Padanya disampaikan ancaman, bila Maskub tidak segera menyerahkan diri maka kelaurganya yang akan menanggung akibat perbuatannya tersebut.
     Sang pegawai pabrik gula itu kemudian menemui Maskub di tempat persembunyiannya. Disampaikanlah ancaman tersebut seraya meminta agar menyerahkan diri agar keluarganya selamat dari hukuman Jepang. Tidak lama setelah pertemuan tersebut Lurah Maskub menyerahkan diri dan dimasukkan tahanan di Rumah Tahanan Purwotengah.
     Setelah terjadi peristiwa penjarahan massal pada hari Jum'at legi, 8 Mei 1942, Jepang mengeluarkan perintah agar barang jarahan diserahkan. Perintah bernomor 01 tertanggal 9 Mei 1942 itu juga menyebutkan akan menangkap penjarah yang mengabaikan ultimatum. Beberapa orang diketahui ditangkap karena tidak membawa barang hasil jarahannya. Karena tindakan itu Lurah Maskub memilih menyerah agar keluarganya tidak menanggung sengsara.
     Tanggal 16 Mei 1942, penduduk Mojokerto diperintahkan datang ke alun-alun. Pada saat itu di sebelah timur alun-alun di depan kantor Landraad atau pengadilan telah berdiri beberapa orang hukuman, diantaranya terdapat lurah Maskub dan 4 orang perangkat Desa Sawo. Kebanyakan para terhukum itu didakwa bersalah karena melakukan penjarahn rumah dan toko yang ditinggal lari pemilikknya.
     Penduduk dihadirkan melihat eksekusi. Sebelum hukuman dilakukan, salah seorang komandan tentara Jepang berpidato dihadapan massa. Dikatakan bila pemerintah militer Jepang akan menegakkan hukum dan menjatuhkan hukuman pada orang yang bersalah tidak mematuhi perintah. Para terhukum yang akan dieksekusi adalah contoh bagaimana Jepang menjalankan kekuasaannya.
     Pada hari Senin itu kekejaman dipertontonkan. Terdakwa itu dihukum tanpa ada proses pengadilan. Setalah pidato selesai, peluru meluncur dari senapan prajurit yang sudah disiapkan. Timah panas yang merenggut nyawa Lurah Maskub dan bawahannya diiringi jerit kengerian penonton hukuman tembak mati.
     Jenazah Maskub dan 4 Perangkat Desa Sawo kemudian dibawa pulang oleh keluarganya. Mereka dikebumikan di makam desanya. Meninggalnya korban eksekusi itu dijadikan contoh untuk menakuti penduduk agar tidak berpikiran melawan.

--- oo0oo ---

Gedeg, 6 Pebruari 2018


Tentang Penulis
Ayuhanafiq (Johan Nafiq) merupakan sejarawan yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai Ketua KPUD Kabupaten Mojokerto (sejak 2010 – kini). Eks aktifis PMII Komisariat Universitas Islam Mojokerto (UNIM) ini juga intens menulis catatan sejarah Mojokerto, terutama di masa penjajahan Belanda dan Jepang, di masa revolusi kemerdekaan, hingga masa awal berdirinya NKRI. Penulis buku Garis Depan Pertempuran Laskar Hizbullah 1945-1950 (terbit 2013) ini bisa disambangi di Desa Gedeg, Kec. Kemlagi, Kab. Mojokerto, dan disapa di https://web.facebook.com/ayyuhan.



 
Sumber: