Minggu, 18 Februari 2018

Rahman El Hakim: CATATAN TERMINAL SASTRA 27 PERPUSDA MOJOKERTO 2016



 Oleh: Rahman El Hakim

Salam Budaya
Sastra dalam bentuknya yang paling sederhana (mantra) sampai pada yang paling rumit--kidung, tembang, novel, dll--merupakan sesuatu yang terus menerus berkembang, diminati, dikaji, dibahas, didiskusikan oleh manusia.
Pada tanggal 28 Agustus 2016 kemarin, penulis mendapatkan kehormatan di Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Mojokerto, membedah buku Antologi Puisi PENGAKUAN dalam rangkaian rutin kegiatan Terminal Sastra di Kabupaten Mojokerto (khususnya), dan Jawa Timur.
LINK: https://www.mncpublishing.com/book-detail.php?id=000060#pane1
Ada dua buku yang dibedah pada acara tersebut, yaitu RINDU DAMAI DI SUDUT NEGERI karya Rb. Abdul Gani dan PENGAKUAN karya penulis. Acara dimulai jam 08.30 wib dan direncanakan jam 13.00 sudah bisa diakhiri. Walaupun pada kenyataannya acara baru selesai jam 15.00 wib.
Ada beberapa hal penting bagi penulis dalam acara ini. Selain sebagai sebuah kritik, saran, masukan, tentu saja sebagai bahan renungan baru bagi penulis dan juga para peserta.
Pak Slamet Wahedi (pembedah buku RINDU DAMAI DI SUDUT NEGERI) menyampaikan hal yang bernada bertanya: Apakah sajak benar-benar telah menjadi ledakan kemarahan, kepedihan, dan segala macam bentuk ekspresi manusia yang tertata dengan estetis? Atau hanya sekedar menjadi alat untuk meluapkan caci maki, sumpah serapah, dan segala ketidak berdayaan manusia?
Pernyataan ini sangat menarik ketika melihat fenomena begitu banyaknya sajak yang ditulis di media-media sosial, yang ditulis oleh hampir semua manusia pada saat sekarang ini. Sajak yang dianggap sebagai puncak dari Sastra sekarang ini seolah-olah telah menjadi sesuatu yang sangat dekat, sangat akrab dengan manusia, bahkan telah menjadi pilihan utama untuk mengunggapkan hal-hal yang dirasakan manusia dalam kehidupannya sehari-hari.
Jika pertanyaan ini diwajibkan dijawab, maka akan ada banyak jawaban yang beragam. Akan ada jawaban yang mendukung dan ada yang menentangnya. Yang mendukung kemungkinan terbesar akan mengatakan bahwa sajak bukan hanya milik para penyair, sastrawan, dan sebagainya. Sajak boleh ditulis oleh siapa saja.
Yang menentang, kemungkinan akan memberikan sudut pandang yang berbeda. Mereka akan mengatakan bahwa tidak semua orang boleh menulis sajak, dan juga tidak semua tulisan bisa dimasukkan dalam ranah sajak.
Kedua pendapat ini tentu saja patut kita renungkan bersama. Bagaimana pada jaman sekarang, ketika tekhnologi canggih--HP pintar, Android, Tablet, dan segala macamnya--sudah bisa mengakses internet sampai ke rumah-rumah, bahkan ke dalam kamar, maka batasan-batasan antara sastra dan bukan sastra hampir menjadi samar. Setiap detik informasi begitu melimpahnya dan bisa diakses oleh siapa saja. Setiap detik tulisan-tulisan yang dianggap sastra dan non sastra diposting di media sosial. Hampir tidak ada penyaring atau badan penyaring yang bisa memberikan patokan jelas tentang sebuah tulisan bisa dimasukkan dalam ranah tulisan sastra atau tidak.
Di sisi lain, di Indonesia, demam kebebasan yang berasal dari 'Reformasi' telah melahirkan generasi-generasi yang (menurut pendapat pribadi penulis) telah kehilangan ciri khas mereka sebagai manusia Indonesia. Generasi-generasi yang terlalu cengeng, terlalu sentimental, terlalu melankolis, dan akhirnya mudah putus asa dalam memandang kondisi dan menanggapi situasi di Indonesia. Generasi-generasi yang bahkan bergerak ke arah generasi tukang caci, pendek sumbu, pemarah, dan (semoga saja tidak terjadi) anarkis.
Generasi muda sekarang terjebak oleh begitu mudahnya mendapatkan akses informasi dari mana saja sehingga mereka lupa dengan kedirian mereka sendiri. Lupa dengan sejarah panjang bangsanya, lupa dengan kekayaan budaya, lupa dengan kekayaan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh para leluhurnya, sehingga begitu mudahnya untuk menjustifikasi orang, kkelompok, dan pihak yang tidak sepaham dengan mereka dengan sebutan 'tidak nasionalis, kafir, syirik, bid'ah, dan segala macamnya, yang tentu saja ini berbahaya bagi kelangsungan bangsa dan negara Indonesia Raya.
Sajak adalah karya seni yang ditulis dengan kejujuran, melalui pengamatan, analisis, perenungan, dan pengendapan panjang di dalam batin penulisnya. Seorang penulis (penyair) adalah orang yang mengawal, menjaga, mengkritisi, bahkan mengutak-atik semua simbol bahasa yang dikenalnya, dikenal oleh lingkungan masyarakat, dan bangsanya untuk kemudian terus menerus mencipta, melahirkan kekayaan bahasa, sudut pandang, dan kemajuan bahasa itu sendiri.
Terminal Sastra merupakan satu dari berbagai macam usaha yang dilakukan oleh manusia-manusia yang menyadari dengan fenomena ini, menyadari tentang pentingnya menjaga, merawat, dan terus memproses bahasa agar bahasa itu menjadi dewasa dan tidak mandeg. Terminal Sastra merupakan sebuah pusaran kecil di sudut negeri yang diharapkan akan memicu dan memacu daerah-daerah lainnya untuk peduli kepada bahasa dan kesustraan Indonesia.
Mungkin di tempat lain telah banyak pula diadakan acara semacam ini, tetapi satu hal yang bisa penulis kedepankan adalah di dalam Terminal Sastra tidak ada satupun yang lebih pintar, tidak ada satupun yang lebih pandai. Semuanya sama-sama belajar.
....
Engkau gurunya
Engkau pula muridnya
Karena engkau adalah manusia
...


Salam

Jember, 1 September 2016
02.20 wib

SUMBER: